Gaudete! Rahasia Sukacita Sejati di Tengah Penderitaan Dunia

Di tengah laporan ekonomi global yang mengatakan angka kemiskinan menurun, ada statistik lain yang justru mengkhawatirkan: tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan jiwa manusia di seluruh dunia sedang mengalami penurunan. Semakin banyak orang yang hidup dengan kecemasan, stres, kesedihan, dan rasa sakit secara emosional, meski secara materi mungkin tercukupi.

Fakta ini membuat kita bertanya: Di mana kita bisa menemukan sukacita yang sejati dan tahan lama?

Pada Minggu Advent ketiga, gereja mengenal tema “Gaudete” yang artinya “Bersukacitalah!”. Tema ini berakar dari firman Tuhan dalam Yesaya 61:1-4, 8-11, yang dengan jelas menggambarkan misi Tuhan bagi umat-Nya yang terluka.

“Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena Tuhan telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara.” (Yesaya 61:1)

Ini adalah janji yang diulang dan diteguhkan oleh Yesus sendiri di Perjanjian Baru. Ia datang sebagai penggenap janji itu: membawa kabar baik, pembebasan, dan penghiburan.

Dunia yang Makin Kaya, Tapi Semakin Sedih?

Data dari UNDP (2020) menunjukkan sekitar 600 juta orang masih hidup dalam kemiskinan ekstrem. Namun, penelitian global tentang wellbeing (kesejahteraan jiwa) justru menunjukkan trend negatif yang meningkat dari tahun 2006 hingga 2018. Kecemasan, stres, kemarahan, dan kesedihan dilaporkan semakin tinggi.

Artinya apa? Kemajuan ekonomi tidak serta-merta membawa kebahagiaan. Ketidakadilan sosial, kesepian, dan lingkungan yang tidak sehat secara sosial justru menjadi biang keladi pudarnya sukacita. Kita bisa punya banyak hal, tetapi tetap merasa hancur dan tertawan di dalam.

Pesan firman Tuhan hari ini sangat relevan: Kabar sukacita itu pertama-tama adalah bagi orang yang sadar bahwa ia membutuhkannya.

Sukacita yang Hanya Dirasakan oleh yang Memerlukan

Yesus menyatakan kabar baik-Nya justru kepada mereka yang sadar akan penderitaan mereka: yang sengsara, remuk hati, tertawan, dan berkabung. Sukacita terbesar adalah sukacita sesudah penderitaan, seperti terang yang disambut setelah badai berlalu.

Masalahnya, banyak orang yang sebenarnya “remuk hati” atau hidup dalam “reruntuhan” emosional, tetapi tidak menyadarinya. Mereka merasa baik-baik saja, tidak butuh pertolongan. Ketika Kabar Baik itu datang, mereka justru menolaknya.

Seperti kata Yesus: “Karena kamu berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan kamu tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang.” (Wahyu 3:17).

Perjanjian Baru: Tawaran Sukacita yang “Terlalu” Murah Hati

Tuhan menawarkan solusi melalui sebuah Perjanjian Baru. Jika kita melihat sejarah, Tuhan selalu mengikat perjanjian dengan manusia (Adam, Nuh, Abraham, Musa, Daud). Namun, uniknya, Perjanjian Baru di dalam Yesus Kristus ini adalah perjanjian yang sangat menguntungkan pihak manusia.

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16)

Pihak Tuhan (yang lebih kuat) memberikan segalanya: Anak-Nya, hidup kekal, kelepasan, dan penghiburan.
Pihak kita (manusia) diminta untuk: Percaya. Percaya di sini bukan sekadar ucapan, tetapi menerima sepenuhnya ajaran Yesus dan mengikuti teladan-Nya.

Ajarannya sederhana namun mendalam: Kasih. Kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama seperti diri sendiri, sebagaimana Kristus telah mengasihi kita—sampai rela memikul salib.

Memikul salib adalah simbol pengorbanan kasih, bukan kekerasan. Itu berarti membuka mata, telinga, hati, dan tangan—bahkan dompet—untuk berbagi dan meringankan beban sesama. Jalannya mungkin melelahkan, membuat kita disalahpahami, atau bahkan dimanfaatkan. Tetapi, seperti kata Bunda Teresa, “Teruslah mengasihi… karena itu bukan tentang kita, tetapi tentang mereka yang kita kasihi.”

Bersukacitalah di Dalam “Already and Not Yet”

Kita hidup di masa “already and not yet” (sudah dan belum). Already: Perjanjian sudah diikat, kemenangan atas dosa dan maut sudah dipastikan di kayu salib. Not yet: Kita masih menantikan penggenapan sempurna, kedatangan Kristus yang kedua kali, di mana semua air mata akan dihapus.

Masa di antara keduanya adalah petualangan iman kita. Rasul Paulus memberi teladan sempurna. Dari dalam penjara, ia menulis: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Filipi 4:4).

Sukacita di dalam Tuhan adalah sukacita yang produktif. Daripada galau menunggu “kapan” doa dijawab, kita diajak untuk berkarya dalam kasih selama masa penantian itu. Menabur kebaikan, meneladani Kristus, dan menjadi saluran kabar baik bagi dunia yang semakin kehilangan kebahagiaannya.

Kesimpulan: Gaudete! Rejoice!

Jadi, di tengah segala penderitaan, kegalauan, dan beban hidup yang kita alami—kita dipanggil untuk bersukacita.

Bersukacita karena kita tidak sendirian. Tuhan memahami penderitaan kita.
Bersukacita karena kita ada dalam sebuah Perjanjian Baru yang menjamin pemulihan dan kemenangan akhir.
Bersukacita karena masa penantian kita adalah masa yang bermakna, untuk berkarya dalam kasih.

Gaudete! Bersukacitalah! Sukacita sejati bukan karena keadaan baik, tetapi karena kita telah diikat oleh janji Allah yang tidak pernah gagal. Nikmatilah petualangan imanmu, karena akhirnya sudah pasti baik.


Saksikan khotbahnya di sini