Semua dimulai dari dering telepon di pagi hari. Kemudian isak tangis tanpa henti di seberang sana. Lalu berganti kebingungan, kegamangan, bahkan kepanikan. Ketika semua bangunan impian indah akan bunga-bunga suci yang akan bermekaran tiba-tiba luruh terhempas ke tanah. Air mata yang berjatuhan dan menggenang, bagai banjir yang memunahkan batang-batang padi yang baru mulai bertumbuh, menenggelamkan satu per satu visi dan harapan akan penghujung bumi yang telah dirajut bersama.
Ah, delapan tahun sudah, namun momen yang bagai prahara itu masih begitu jernih dalam memori. Juga momen-momen sesudahnya, ketika simpul-simpul pengikat rumah kecil kita mulai lepas satu per satu. Hanyut terbawa genangan air mata yang tidak kunjung surut, atau melayang tertiup angin dingin yang berhembus sesudahnya, yang memadamkan semua api yang bergelora di dalam dada.
Tapi tidak. Bangunan ini tidak punah, karena landasannya adalah batu karang yang teguh itu. Benih yang sudah tertabur itu mungkin terserak ke mana-mana hari ini, tapi tidak akan pernah dibiarkan mati. Aku hanya berdoa dan mau bermimpi hari ini, simpul-simpul itu terjalin kembali, sumbu yang pudar itu menyala lagi, dan bangunan ini kembali menjadi tempat berteduh para pengembara, yang merana mencari makna kehidupan, seperti kita dahulu…
in memoriam, Maria Park, ibu, gembala, ‘chiang’ kami