TUHAN Tidak Pernah Ingkar Janji: Belajar Kesetiaan dari Kisah Abraham & Sarah

“Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta, bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau Ia berbicara dan tidak menepatinya?” — Bilangan 23:19

Kesetiaan Tuhan adalah fondasi kekristenan yang sering kita dengar, namun terkadang sulit kita percayai sepenuhnya ketika janji-Nya tampak begitu lama digenapi. Bagaimana seharusnya kita menyikapi masa penantian akan penggenapan janji Tuhan?

Kisah Abraham dan Sarah: Ujian Kesetiaan dalam Penantian

Ketika Tuhan pertama kali berjanji kepada Abraham bahwa keturunannya akan seperti “bintang di langit dan pasir di laut”, Abraham berusia 75 tahun — usia yang tidak muda lagi. Namun, janji itu baru mulai tergenapi setelah 25 tahun penantian, ketika Abraham sudah mencapai usia 100 tahun dan Sarah 90 tahun.

Bayangkan perjalanan iman yang mereka tempuh. Selama seperempat abad, mereka harus berjuang melawan keraguan: “Apakah Tuhan benar-benar akan menepati janji-Nya? Bukankah sudah terlalu lama? Bukankah situasinya sudah tidak mungkin lagi?”

Namun, Kejadian 21:1-7 mencatat dengan jelas: “Tuhan memperhatikan Sarah seperti yang difirmankan-Nya, dan Tuhan melakukan kepada Sarah seperti yang dijanjikan-Nya.” Tuhan tidak mengurangi, tidak menambah, dan tidak mengubah janji-Nya — Dia menggenapi tepat seperti yang difirmankan.

Tuhan Bukan Manusia: Fondasi Iman Kita

Kualitas hubungan kita dengan Tuhan ditentukan oleh kualitas janji-Nya. Dalam hubungan antarmanusia, janji bisa dilupakan, direduksi, atau diingkari. Tetapi Bilangan 23:19 dengan tegas menyatakan perbedaan mendasar: “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta.”

Tuhan tidak pernah “gombal” dengan kita. Ketika Dia berjanji, Dia memiliki kuasa dan kesetiaan untuk menggenapinya. Inilah yang menjadi dasar mengapa kita dapat mempercayai firman-Nya sepenuhnya.

Tiga Karakter Janji Tuhan:

  1. Tepat sesuai firman — Tidak kurang, tidak diubah
  2. Pada waktu-Nya — Bukan waktu kita
  3. Tanpa penyesalan — Tuhan tidak pernah menyesali janji-Nya

 

Janji Terbesar: Hidup Kekal dalam Yesus Kristus

Saat kita berbicara tentang janji Tuhan, ada satu janji fundamental yang menjadi dasar iman Kristen: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).

Janji hidup kekal ini mengubah seluruh perspektif kita tentang kehidupan. Gereja mula-mula mampu bertahan dalam aniaya yang dahsyat karena mereka memegang janji ini. Hidup di bumi — dengan segala sukacita dan pergumulannya — bukanlah “ending” cerita kita. Cerita utama kita adalah kekekalan bersama Kristus.

Jika kita benar-benar percaya pada janji hidup kekal ini, bagaimana seharusnya itu terlihat dalam kehidupan sehari-hari kita?

“Waktu Tuhan Bukan Waktu Kita”: Memahami Timeline Ilahi

Salah satu tantangan terbesar dalam memegang janji Tuhan adalah perbedaan konsep waktu. Manusia terbatas pada waktu 70-80 tahun, sementara Tuhan beroperasi dalam kekekalan. Bagi Tuhan, seribu tahun sama seperti satu hari (2 Petrus 3:8).

Abraham tidak melihat seluruh penggenapan janji Tuhan dalam hidupnya di dunia. Dia hanya melihat awal dari janji itu — kelahiran Ishak. Namun karena imannya melampaui batas waktu duniawi, dia dapat “melihat” penggenapan sepenuhnya dalam perspektif kekekalan.

Habakuk 2:3 mengingatkan kita: “Penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh.”

“Earn It”: Hidup yang Layak bagi Anugerah

Ada film pemenang Oscar berjudul “Saving Private Ryan” yang menggambarkan dengan indah konsep anugerah. Dalam film tersebut, Kapten Miller dan regunya mengorbankan nyawa mereka untuk menyelamatkan Prajurit Ryan. Di detik-detik terakhir hidupnya, Kapten Miller berbisik kepada Ryan: “Earn it” — buatlah hidupmu layak untuk pengorbanan ini.

Ketika Yesus berseru “Sudah selesai!” di kayu salib, kita mendengar undangan yang serupa: “Jangan sia-siakan pengorbanan-Ku. Jangan sia-siakan anugerah yang telah engkau terima.”

Hidup kita sebagai orang percaya seharusnya menjadi respons terhadap anugerah yang telah kita terima. Bukan sekadar menjadi “Kristen KTP” atau mengikuti ritual agama, tetapi menjalani hidup dengan nilai-nilai yang diajarkan dan diteladankan Yesus.

Teladan Kesetiaan: Hudson Taylor dan Hello Kitty

Hudson Taylor, pendiri China Inland Mission (yang kemudian menjadi OMF), adalah contoh nyata kesetiaan pada panggilan Tuhan meski sumber daya tidak mencukupi. Ketika ditanya bagaimana dia akan melayani tanpa dana yang cukup, jawabannya sederhana: “Ada Tuhan dan kita bisa berdoa.” Kesetiaannya menghasilkan lembaga misi terbesar yang pernah ada.

Di dunia sekuler pun, kita menemukan prinsip yang mirip. Yuko Shimitsu, pencipta karakter Hello Kitty, ditolak 47 kali sebelum karakter sederhananya diterima. Sekarang, nilai bisnis Hello Kitty mencapai 80 miliar dolar. Setiap penolakan justru menjadi kesempatan untuk memperbaiki diri.

Jika orang dunia bisa setia pada visi mereka meski ditolak berkali-kali, betapa lebih lagi kita yang melayani Tuhan yang memang abadi?

Sukacita Terakhir: Ketika Namaku Dipanggil

Sarah bersukacita setelah kelahiran Ishak: “Allah telah membuat aku tertawa; setiap orang yang mendengarnya akan tertawa karena aku” (Kejadian 21:6). Ada pepatah Inggris: “Yang penting siapa yang terakhir tertawa.”

Bersama Tuhan, kita akan menjadi yang terakhir tertawa. Sukacita terbesar, “the ultimate joy” yang kita nantikan, adalah ketika kita berdiri di hadapan takhta Allah dan nama kita dipanggil dari Kitab Kehidupan.

Yesus mengajar murid-murid-Nya: “Janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga” (Lukas 10:20).

Pegang Janji Tuhan dengan Setia

Teman-teman, adakah janji Tuhan yang sedang engkau nantikan? Mungkin itu sudah terasa begitu lama, situasi tampak mustahil, dan keraguan mulai menyusup. Ingatlah:

Tuhan tidak pernah ingkar janji — Dia setia pada firman-Nya

Waktu Tuhan sempurna — meski berbeda dari ekspektasi kita

Penggenapan-Nya pasti — sesuai dengan yang dijanjikan, tidak kurang

Hubungan kita dengan Tuhan adalah hubungan perjanjian. Dari pihak-Nya, Dia telah dan akan selalu setia. Dari pihak kita, marilah kita hidup dengan setia, “membuat hidup kita layak” bagi anugerah yang telah kita terima dalam Kristus.

Biarlah kita dapat berkata seperti Paulus: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2 Timotius 4:7). Dan pada akhirnya, ketika nama kita dipanggil, biarlah kita ada di sana, diterima oleh Bapa karena iman kita dalam Yesus Kristus.


Renungkan: Janji Tuhan apa yang sedang engkau nantikan hari ini? Bagaimana engkau dapat tetap setia dalam masa penantian itu?

Saksikan Video Khotbahnya di sini