Pengampunan yang Tak Terhitung: Mengapa Kita Harus Memaafkan 70 Kali 7 Kali?

Kita semua diajari sejak kecil untuk meminta maaf dan memaafkan. Saat masih anak-anak, prosesnya sederhana: “Maafin ya!” lalu berjabat tangan, selesai. Tapi semakin dewasa, kita menyadari bahwa memberi maaf menjadi semakin rumit. Luka-luka hidup semakin dalam, hubungan semakin kompleks, dan pengampunan terasa seperti beban yang berat.

Petrus pun merasakan kerumitan ini. Dalam Matius 18:21, ia bertanya kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku? Sampai tujuh kali?” Petrus mungkin merasa sudah sangat murah hati dengan angka tujuh—angka yang dalam tradisi Yahudi melambangkan kesempurnaan.

Tapi jawaban Yesus mengejutkan: “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Matius 18:22).

Apa artinya? Bukan matematika, tapi filosofi hidup. Yesus mengajarkan bahwa pengampunan harus menjadi gaya hidup—sesuatu yang mutlak dan tak terbatas, seperti kasih karunia Allah kepada kita.

Perumpamaan yang Mengguncang: 10.000 Talenta vs 100 Dinar

Yesus kemudian menceritakan perumpamaan yang luar biasa tentang seorang hamba yang berhutang 10.000 talenta kepada raja. Mari kita pahami besarnya:

  • 1 talenta = 10.000 dinar
  • 1 dinar = upah satu hari pekerja
  • Jika upah harian di Indonesia rata-rata Rp53.781…
  • Maka 10.000 talenta = sekitar Rp5,3 triliun!

 

Angka yang fantastis dan mustahil dibayar! Tapi ketika hamba itu memohon ampun, raja mengampuni seluruh hutangnya. Luar biasa!

Namun cerita berlanjut. Hamba yang sama bertemu dengan temannya yang berhutang 100 dinar (sekitar Rp5 juta). Meski hutangnya sendiri yang triliunan telah dihapus, ia menuntut temannya membayar hutang yang “hanya” jutaan itu, bahkan memenjarakannya.

Di sinilah letak tragedinya: Kita yang diampuni hutang “triliunan” oleh Allah, seringkali menuntut saudara kita membayar hutang “jutaan” mereka kepada kita.

Kenapa Pengampunan Terasa Begitu Sulit?

  1. Hidup ini tidak adil – Ketidakadilan adalah bagian dari hidup yang tak terhindarkan
  2. Luka semakin dalam – Semakin dewasa, luka hati semakin kompleks
  3. Kita merasa punya hak untuk tidak memaafkan – Ini adalah ilusi yang berbahaya

 

Yesus dengan tegas berkata: “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Matius 18:35).

Teladan Pengampunan yang Mengubah Dunia

Kisah nyata dari komunitas Amish di Pennsylvania tahun 2006 menginspirasi. Seorang pria menembak 10 siswi Amish, menewaskan 5 di antaranya. Respons komunitas Amish? Mereka mengunjungi istri pelaku untuk menghiburnya dan menawarkan dukungan. Mereka berkata: “Kami siap menolong karena kami percaya Tuhan yang mengampuni kami.”

Ini bukan pengampunan yang naif, tapi pengampunan yang transformatif—pengampunan yang membebaskan baik yang dimaafkan maupun yang memaafkan.

Pengampunan adalah Pilihan, Bukan Perasaan

  1. Pengampunan adalah keputusan – Bukan sekadar perasaan yang datang begitu saja
  2. Pengampunan membebaskan – Terutama membebaskan diri kita dari belenggu kepahitan
  3. Pengampunan adalah gaya hidup – Bukan sekadar tindakan satu kaliPenelitian neurologi bahkan membuktikan: Memberi pengampunan sehat untuk tubuh dan jiwa.

Kita Tidak Punya Pilihan Lain

Sebagai pengikut Kristus, kita menyadari: Kita adalah penerima pengampunan “10.000 talenta.” Hutang dosa kita yang mustahil dibayar telah dihapuskan di kayu salib.

Karena itu, kita tidak punya pilihan selain membagikan kasih karunia yang sama. Menolak memberi pengampunan sama dengan menolak pengampunan yang telah kita terima.

Dunia Akan Membenci, Tapi Kita Tetap Mengasihi

Yesus mengingatkan: “Jika dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku” (Yohanes 15:18). Ketika kita memilih untuk mengampuni di tengah dunia yang penuh dendam, kita menjadi terang dan garam.

Ketidakadilan akan selalu ada. Tapi sebagai anak-anak Allah, kita dipanggil untuk menjadi agen keadilan dan kasih di tengah ketidakadilan.

Refleksi untuk Kita Semua

Mari bertanya pada diri sendiri:

  • Hutang “100 dinar” apa yang masih saya tuntut dari orang lain?
  • Sementara hutang “10.000 talenta” saya sendiri telah diampuni?
  • Apakah saya masih merasa punya “hak” untuk tidak mengampuni?

Pengampunan bukanlah membiarkan kejahatan. Pengampunan adalah mengatakan: “Apa yang kamu lakukan salah, tapi aku memilih untuk tidak menuntut balas. Aku melepaskanmu, karena Kristus telah melepaskanku.”


Saksikan juga khotbah di Youtube