Matius 6:1-6, 16-21
Kesombongan adalah bagaikan semak duri di taman hati kita. Semak duri tidak menghasilkan buah apa-apa dan jika dibiarkan tumbuh, ia akan menutupi dan merusakkan tanaman yang baik. Semak duri kesombongan akan menutupi kasih karunia Allah bagi kita dan menghimpit segala kebaikan-Nya.
Rabu Abu adalah hari untuk berdoa dan berpuasa. Rabu Abu menandai dimulainya masa Minggu Sengsara (Lent), yaitu masa enam minggu merenungkan kehidupan Kristus di dunia ini. Ada 46 hari dari Rabu Abu sampai Paskah. Istilah “Rabu Abu” diambil dari tradisi gereja kuno yang mengoleskan abu di dahi sebagai lambang pertobatan dan iman kepada Injil, kepada jemaat yang hadir dalam ibadah hari itu.
Merenungkan kehidupan Yesus Kristus di dunia adalah merenungkan kasih karunia Allah bagi umat manusia. Ketika melakukan hal itu, ada satu hal yang kemudian menjadi sangat penting. Kasih karunia diberikan karena manusia tidak dapat membebaskan diri dari belenggu dosa. Menyadari betapa berdosanya kita adalah langkah pertama dalam merenungkan kasih karunia Allah melalui Yesus Kristus.
Dalam perikop yang kita mau renungkan ini, Yesus mengajak kita untuk memeriksa diri. Namun, Yesus tidak membicarakan tentang perbuatan-perbuatan atau kesalahan-kesalahan sehari-hari kita. Yesus menunjukkan sebuah masalah yang merupakan penghalang terbesar untuk kita menerima kasih karunia Allah. Itu adalah kesombongan.
Yesus mengatakan bahwa jika kesombongan dibiarkan tumbuh, ia akan menutupi semua perbuatan baik yang kita lakukan. Memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan adalah tindakan kasih kepada sesama. Akan tetapi, itu akan menjadi sia-sia ketika kesombongan menutupinya. Oleh karena itu, Yesus mengatakan “jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” (Matius 6:3)
Bukan hanya tindakan kasih kepada sesama yang bisa dirusak oleh kesombongan.
Ibadah kita kepada Allah pun akan menjadi sia-sia ketika kita melakukannya dalam kesombongan. Yesus menegur para pemuka agama Yahudi yang suka mempertontonkan ibadah mereka kepada khalayak.
Orang Yahudi di masa itu mempunyai jadwal doa tujuh kali sehari. Ketika jadwal itu tiba, mereka akan berdoa kepada Allah. Akan tetapi, orang-orang yang sombong sengaja melakukan itu di tempat di mana mereka dapat dilihat orang. Mungkin mereka sungguh-sungguh berdoa, namun mereka menyombongkan ‘kesungguhan’ mereka itu.
Yesus bahkan mengatakan bahwa ketika berpuasa, jangan sampai orang lain mengetahuinya. Berpuasa adalah tindakan kasih kepada Allah yang mulia. Ketika berpuasa kita melepaskan kebutuhan paling mendasar kita sebagai ungkapan kesungguhan kita dalam mengasihi Allah. Akan tetapi, tindakan ini pun bisa ditutupi oleh kesombongan. Akibatnya mengerikan sekali. Pengorbanan kita bukan hanya menjadi sia-sia tetapi juga mendatangkan murka Allah.
Merenungkan kehidupan Yesus adalah obat penawar bagi kesombongan. Itu seperti cairan herbisida yang membunuh semak duri di taman kita. Untuk menyingkirkan semak duri kesombongan dari taman hati kita, kita harus terus menerus merenungkan kasih karunia Allah melalui Yesus. Yesus Kristus yang “mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba” untuk melayani kita.
Memasuki Minggu Sengsara tahun ini, biarlah kita melakukan ini dengan giat. Singkirkan semua semak duri yang menghalangi kasih karunia Allah dalam hidup kita. Buang semua semak duri yang menghalangi kita untuk menghidupi dan membagikan kebaikan Allah. Memang tidak mudah, namun jika kita giat melakukannya, kita akan melihat buah-buahnya. Haleluya!
Saksikan Khotbah Shine Jogja di Youtube